peraturanpresiden. Selanjutnya, dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan secara jelas dalam Konvensi Wina 1969. Pasal 2 Konvensi Wina 1969 tersebut antara lain menyebutkan bahwa suatu perjanjian mulai berlaku dengan mengikuti cara
KonvensiWina 1969. Dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti pengawasan
Dalamhukum Internasional peraturan yang mengatur Perjanjian internasional adalah Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang perjanjian Internasional dan Konvensi Wina Tahun 1986 Tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan organisasi internasional. Permasahan 1 . Siapa yang menjadi subjek hukum dalam perjanjian internasional. 2.
KonsekuensiHukum Penerapan Dua Kebijakan Australia Selaku Anggota Konvensi Pengungsi Tahun 1951 di Tinjau Dari Konvensi WINA 1969 . Tersimpan di: kebijakan yang dibuat oleh Australia sesuai dengan prinsip-prinsip dalam konvensi 1951 yang berkaitan dengan para pengungsi dan untuk menganalisis bagaimana VCLT 1969 menilai contracting states
Penjelasan Terkait dengan ratifikasi ternyata lebih lanjut Hilda menyampaikan bahwa berdasarkan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi "the consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed", sehingga pada proses persetujuan dari sebuah
KONVENSIWINA 23 MEI 1969 TERJEMAHAN INDONESIA . Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Penerapan tanpa mengesampingkan setiap peraturan yang ditetapkan dalam Konvensi ini yang akan menjadi subjek hukum perjanjian internasional secara independen di bawah Konvensi, Konvensi berlaku hanya untuk perjanjian-perjanjian yang menyimpulkan oleh
ataudisebutkan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-un- internasional,11 misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara
r0dzd. 44% found this document useful 9 votes7K views28 pagesDescriptionwina conventionCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?44% found this document useful 9 votes7K views28 pagesKonvensi Wina 23 Mei 1969 Terjemahan IndonesiaJump to Page You are on page 1of 28 You're Reading a Free Preview Pages 7 to 8 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 13 to 26 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Disarikan oleh Rozy Fahmi, SH., MH Founder & Partner RFA Law Office Perjanjian internasional mengandung suatu tujuan yang hendak dicapai secara kolektif oleh para pihak, baik perjanjian internasional yang ruang lingkupnya bilateral maupun multilateral. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya sengketa atau perselsihan terkait perjanjian internasional, maka perlu adanya asas-asas dalam hukum perjanjian internasional. Mengenai asas-asas tersebut, terkandung dalam VCLT 1969 1969, antara lain Asas Free Consent. Asas free consent merupakan perkembangan dari asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas ini, maka setiap proses perundingan harus disepakati berdasarkan kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya. Perjanjian internasional yang tidak didasarkan pada asas kesukarelaan ini, atau jika didasarkan pada tekanan-tekanan, maka akan dapat menimbulkan akibat hukum seperti batal void ataupun tidak sahnya perjanjian tersebut.[1] Asas Itikad Baik Good Faith. Asas itikad baik merupakan asas yang sudah harus menjadi perhatian sejak pendekatan-pendekatan informal dari para calon pihak peserta perjanjian. Pendekatan-pendekatan informal ini yang kemudian berlanjut menjadi pendekatan-pendekatan formal berupa perundingan, penerimaan, pengotentikan, pengikatan diri, pemberlakuan, pelaksanaan, hingga berakhirnya perjanjian inetrnasional. Asas itikad baik ini dapat tercermin dari setiap praktek para pihaknya, bahkan sebelum perjanjian internasional tersebut mulai berlaku.[2] Pacta Sunt Servada. Asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat menjadi undang-undang bagi yang membuatnya. Asas ini menjadi asas yang paling fundamental dalam sebuah perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjanjian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Tanpa adanya janji-janji yang telah disepakati tidak akan lahir perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana janji-janji yang diberikan oleh para pihak.[3] Asas Pacta Tertulis Nec Nocent Nec Prosunt. Asas ini terlihat secara eksplisit pada Pasal 34 VCLT 1969 1969 yang berbunyi âA treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consentâ. Berdasarkan asas ini, maka setiap hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional hanya mengikat para pihak pembuatnya yang dengan kata lain tidak menimbulkan baik hak maupun kewajiban pada pihak ketiga, kecuali pihak ketiga yang bersangkutan menyetujui. Asas ini terkait dengan asas pacta sunt servanda yang secara linear terkait dengan asas free consent, yakni setiap pihak peserta perjanjian internasional haruslah menyepakatinya, dan bukan hanya menyepakati, tetapi juga menyepakati secara sukarela.[4] Perjanjian internasional yang tanpa persetujuan pihak ketiga tetapi melahirkan hak ataupun kewajiban kepada negara pihak ketiga tersebut, maka telah melanggar asas free consent. Asas Non-Retroactive. Asas non-retroactive menyatakan bahwa suatu kaidah hukum tidak dapat berlaku surut. Pada Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas non-retroactive diatur pada Pasal 28 yang berbunyi âUnless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that partyâ. Berdasarkan pasal tersebut, asas non-retroactive tidaklah bersifat mutlak. Akan tetapi ketidakmutlakan tersebut secara mutlak memerlukan kesepakatan yang dibangun oleh para pihak peserta perjanian internasional. Sehingga, asas non-retroactive juga merupakan asas yang selalu terkait dengan asas itikad baik dan asas free consent, yaitu bahwa kesepakatan mengenai berlaku surut atau tidaknya suatu perjanjian internasional harus berdasarkan kehendak sukarela yang termanifestasikan dalam perjanjian yang dimaksud. Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 28 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut dikatakan bahwa âIf, however, an act or fact or situation which took place or arose prior the entry into force of a treaty continues to occur or exist after the treaty has come into force, it will be caught by the provisions of the treatyâ. Berdasarkan penjelasan tersebut maka muncul perdebatan mengenai kapan tepatnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku. Hal ini terkait bahwa istilah âcome into forceâ yang berarti lahirnya kekuatan mengikat berbeda dengan istilah âenter into forceâ. Jika tidak ditentukan lain, maka suatu perjanjian âenter into forceâ bersamaan dengan pada saat perjanjian internasional tersebut memperoleh daya mengikat âcome into forceâ.[5] Bagi suatu negara seperti Indonesia, suatu perjanjian internasional menjadi berlaku ketika sudah diratifikasi, yang tanggal ratifikasi tidak selalu sama dengan tanggal lahirnya kekuatan mengikat. Asas Rebus Sic Stantibus. Asas rebus sic stantibus merupakan asas yang memberi kemungkinan bagi negara yang mengalami perubahan drastis fundamental change of circumstances untuk melakukan penarikan diri dari suatu perjanjian internasional. Kemungkinan penarikan diri tersebut terkait dengan bahwa jika tetap mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut maka akan membahayakan eksistensi negara tersebut. Pemberlakuan asas rebus sic stantibus ini kemudian akan menyinggung penerapan asas pacta sunt servanda. Bahwa negara yang akan memanfaatkan asas rebus sic stantibus kemudian akan mengggerus kekuatan asas pacta sunt servanda.[6] Namun demikian pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional telah diatur mengenai mekanisme pengunduran diri sebagaimana tercantum pada Pasal 54 yang mengatakan bahwa untuk dapat mengundurkan diri maka harus mengukuti cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan, atau dengan cara mendapat persetujuan dari seluruh pihak peserta perjanjian internasional yang bersangkutan. Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internsional juga telah mengaturnya sendiri pada bagian Amendment and Modification of Treaties. Bagian tersebut mengatur mengenai perubahan perjanjian internasional. Sehingga penggunaan asas rebus sic stantibus juga dapat diakomodir melalui mekanisme amandemen jika dimungkinkan sebelum suatu negara dapat melakukan pengunduran diri karena alasan perubahan drastis yang mengharuskannya. Asas Reciprositas. Adalah asas yang menyatakan bahwa tindakan suatu Negara terhadap Negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat positif maupun negatif. Asas ini berkembang dalam perkembangan hukum internasional karena ketiadaan otoritas yang dapat memaksakan kehendak dalam inisiatif pembuatan perjanjian internasional, sehingga perjanjian yang dibuat harus memiliki keseimbangan timbal balik.[7] Pada Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, asas resiprositas tercermin pada Pasal 60 mengenai pengakhiran perjanjian internasional dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian. Penggunaan asas timbal balik merupakan hal yang umum misalnya dalam perjanjian-perjanjian mengenai tarif dan hak cipta. Ius Cogens Ius cogens merupakan ketentuan-ketentuan pendahulu preemptory rules yang dianggap sebagai ketentuan yang bersifat fundamental sebagai landasan keteraturan publik secara internasional. Ide mengenai ius cogens dikemukakan oleh Grotius yang awalnya merupakan konsep ius strictum yang selanjutnya berkembang oleh aliran natural law.[8] International Law Commission memasukkan konsep ius cogens ke dalam VCLT 1969 1969 pada Pasal 53 âA treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same characterâ. Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional tersebut mengaskan bahwa suatu perjanjian internasional akan void apabila bertentangan dengan ius cogens dan juga menekankan bahwa terhadap ius cogens tersebut tidak dapat dilakukan derogation. Adapun yang termasuk sebagai ius cogens berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh International Law Commission adalah[9] pelanggaran serius terhadap hukum yang mengatur kedamaian dan keamanan; pelanggaran serius terhadap hak untuk menentukan diri sendiri self determination; pelanggaran serius terhadap kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia; pelanggaran serius kewajiban untuk melindungi lingkungan. Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut maka muncul kewajiban erga omnes yaitu bahwa setiap negara berkewajiban mengadili para pelaku kejahatan tersebut karena telah mengganggu tatanan kehidupan global. Oleh karena itu, Pasal 53 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional bukan hanya mengatur bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ius cogens, tetapi juga secara definitif memandatkan kepada setiap negara suatu pengakuan atas keberadaan kejahatan lintas negara yang pada akhirnya memberi kewajiban erga omnes pada setiap negara. [1] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, Hal. 262 [2] Ibid [3] Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 21 Nomor 1, Februari 2009, Hal. 157 v [4] I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Hal. 262 [5] Budiono Kusumohadidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, Hal. 13 [6] Ibid, Hal 17 [7] Francesco Parisi dan Nita Ghei, The Role of Reciprocity in Internatinal Law, dari diakses pada hari Minggu 15 Januari 2017 [8] Alina Kaczorowska, Public International Law, Old Bailey Press, London, 2002, Hal. 32 [9] Ibid, Hal. 33
peraturan menurut konvensi wina 1969